Artikel ini awalnya muncul dalam bahasa Inggris pada tanggal 24 November 2020
Indonesia sudah melewati 500.000 kasus COVID-19 pada hari Senin, menurut Kementerian Kesehatan negara tersebut. Tonggak sejarah yang suram ini terjadi di tengah-tengah kebangkitan kembali dari pandemi ini dan pengabaian dari tindakan-tindakan cepat untuk menghentikan penyebaran virus ini oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Kementerian tersebut mengumumkan adanya 4.442 kasus baru yang sudah dikonfirmasi pada hari Senin, mendorong total infeksi menjadi 502.110, dengan jumlah kematian meningkat sebanyak 118 menjadi 16.002. Berdasarkan dengan daerah, ibu kota Jakarta mencatat kasus yang terbanyak yaitu 1.009, sehingga totalnya menjadi 128.173. Disusul Jawa Tengah dengan 1.005 kasus, Jawa Barat 602, Jawa Timur 365, Kepulauan Riau 273 dan Kalimantan Timur 132.
Angka resmi ini tanpa diragukan merupakan representasi yang sangat rendah. Meskipun disebut-sebut sebagai 'demokrasi' terbesar ketiga di dunia dengan populasi 274 juta orang, negara ini termasuk yang terburuk dalam hal pengujian untuk COVID-19.
Menurut statistik terbaru dari kelompok penelitian nirlaba 'Our World In Data', Indonesia menguji rata-rata 14 orang per 100.000 sehari, sedikit lebih dari setengah tes harian di negara dekatnya Filipina dengan 27 per 100.000. Indonesia memiliki GNI per kapita $US4.050 dibandingkan dengan Filipina $3.850. Dalam perbandingan lain, Australia melakukan sekitar 185 tes harian per 100.000 orang, dan AS 395 per 100.000.
Persentase dari hasil tes harian yang kembali positif juga menunjukkan bahwa pandemi ini semakin tidak terkendali. Sedikitnya 11,4 persen kembali positif di Indonesia dibandingkan dengan 5 persen di Filipina. Artinya dengan rendahnya tingkat pengujian maka jumlah kasus yang terkonfirmasi di Indonesia kemungkinan besar mewakili hanya sebagian kecil dari jumlah infeksi yang sebenarnya.
Menurut kriteria yang ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia pada bulan Mei, angka positif yang kurang dari 5 persen selama setidaknya dua minggu menunjukkan bahwa pandemi tersebut terkendali. Our World in Data menunjukkan bahwa persentase kasus positif di Indonesia terus berkisar antara 10 hingga 17 persen sejak awal Juni.
Meningkatnya jumlah kasus dan kurangnya tindakan untuk pencegahannya terkait dengan krisis ekonomi Indonesia dan kebutuhan dari kelas kapitalis untuk membuat tempat kerja tetap terbuka bagaimanapun risikonya bagi para pekerja.
Ekonomi Indonesia telah turun 3,49 persen pada kuartal ketiga dalam tahun ini, menyusul dengan penurunan 5,32 persen pada kuartal kedua, menandakan bahwa negara tersebut secara resmi berada dalam resesi. Terakhir kali hal ini terjadi adalah dalam krisis keuangan Asia di tahun 1998.
Elit penguasa Indonesia berkomitmen untuk menghindari karantina wilayah (lockdown), dan pada saat yang sama menempatkan beban dari pandemi ini ke pundak kelas pekerja. Pemerintah dengan secara sinis menggunakan pandemi ini untuk membenarkan pembubaran protes-protes para pekerja atas dasar kesehatan.
RUU omnibus pro-bisnis, yang ditandatangani menjadi undang-undang awal bulan ini oleh Widodo, yang telah memicu pemogokan massal pada bulan Oktober dan telah disambut dengan represi polisi yang menggunakan meriam air dan gas air mata. Diperkirakan 3,5 juta pekerja bisa kehilangan pekerjaan mereka di bulan-bulan mendatang.
Ketegangan sosial juga dipicu oleh kebijakan pro-pasar yang diterapkan sejak tahun 1998 yang menyebabkan jurang yang sangat besar antara si kaya dan si miskin. Oxfam melaporkan pada 2017 bahwa empat orang terkaya di negara itu memiliki lebih banyak kekayaan daripada 40 persen terbawah dari populasi, atau 100 juta orang.
Sadar akan penolakan massa terhadap kebijakannya, Presiden Widodo menggantungkan harapannya pada vaksin yang cepat.
Setelah menyatakan bahwa program vaksinasi akan dimulai pada November, Widodo mengumumkan dalam sebuah wawancara dengan Reuters pada tanggal 13 November: “Kami berharap untuk memulai proses vaksinasi pada akhir tahun ini mengikuti serangkaian tes oleh BPOM [Badan Pengawas Obat dan Makanan]. ”
“Kami akan menekan kasus-kasus itu agar mereka tetap datar, ” lanjut Widodo, “kemudian kami akan menekannya dengan vaksin.” Ia menyatakan bahwa penerima pertama adalah petugas kesehatan, diikuti oleh polisi dan militer.
Hanya empat hari kemudian, rencana ini ditolak dalam sidang parlemen oleh BPOM, yang menyatakan bahwa Emergency Use Authorization (EUA) vaksin tidak akan diberikan hingga setidaknya Januari, dan hanya dalam jumlah terbatas.
“Kami terus melakukan kontrol kualitas, kemanjuran, dan keamanan di bawah referensi dan pedoman [Organisasi Kesehatan Dunia],” kata kepala badan tersebut Dr Penny K. Lukito. “Jika datanya lengkap, estimasi bagi vaksin untuk mendapatkan EUA adalah minggu ketiga atau keempat dari bulan Januari.”
Indonesia tidak memiliki kapasitas untuk memanfaatkan beberapa vaksin yang tersedia, termasuk yang dikembangkan oleh Pfizer dan mitra Jerman BioNTech. Penggunaannya akan membutuhkan jaringan distribusi “rantai dingin” di seluruh kepulauan tropis Indonesia yang mampu menyimpan suhu minus 70 derajat Celcius.
“Indonesia tidak memiliki kemampuan seperti itu,” kata direktur utama BUMN Bio Farma, Honesti Basyir, Jumat pekan lalu. “Dan berbahaya jika vaksin ini tidak disimpan pada suhu yang tepat. Bahkan akan rusak sehingga nantinya bila diberikan kepada masyarakat akan membahayakan.”
Indonesia saat ini menargetkan untuk memvaksinasi 107,2 juta orang pada akhir tahun depan, menggunakan vaksin dari Sinovac Biotech milik China, China National Pharmaceutical Group (Sinopharm), dan CanSino Biotech. Semuanya, tidak seperti vaksin Pfizer, masih belum mengumumkan hasil uji klinis tahap III mereka.
Indonesia telah menguji setidaknya 1.620 relawan dengan Vaksin Sinovac di Bandung yang akan diproduksikan di Indonesia setelah mendapat persetujuan regulasi. Temperatur penyimpanannya antara 2 dan 8 derajat Celcius dan oleh karena itu tidak memerlukan teknologi penyimpanan yang diperlukan untuk vaksin Pfizer.
Vaksin tersebut secara khusus dijadwalkan untuk mencakup mereka yang berusia di antara 18 dan 59, dengan 30 persen dari kelompok ini ditanggung biayanya. 70 persen sisanya harus membayar dengan harga penuh. Basyir mengindikasikan pada bulan Oktober bahwa vaksin Sinovac akan menelan biaya sekitar 200.000 rupiah ($US14,11) per dosis. Gaji mingguan rata-rata di Jakarta adalah sekitar 3.250.000 rupiah ($229,36).
Rintangan potensial lainnya untuk peluncuran vaksin yang lancar adalah apakah akan disertifikasi halal, atau diizinkan menurut hukum Islam. Bersamaan dengan pengajuan EUA dari BPOM, kementerian kesehatan juga tengah mengupayakan sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pada tahun 2018, MUI menyatakan bahwa vaksin untuk campak dan rubella adalah haram, atau melanggar hukum, karena mengandung beberapa unsur babi, yang menyebabkan penurunan vaksinasi anak secara signifikan. Usaha-usaha sedang dilakukan untuk penggantiannya, vaksin bersertifikat halal yang tidak akan tersedia setidaknya sampai satu dekade lagi.